Fikiran Ra’jat.,”Pada suatu hari saja punja andjing mendjilat air didalam pantji didekat sumur. Saja punja anak Ratna Djuami berteriak: “Papie, papie, si Ketuk mendjilat air didalam pantji!” Saja djawab: “Buanglah air itu, dan tjutjilah pantji itu beberapa kali bersih-bersih dengan sabun dan kreolin.”
Ratna termenung sebentar. Kemudian ia menanja: “Tidakkah Nabi bersabda, bahwa pantji ini mesti ditjutji tudjuh kali, antaranja satu kali dengan tanah?” -Saja mendjawab: “Ratna, dizaman Nabi belum ada sabun dan kreolin. Nabi waktu itu tidak bisa memerintahkan orang me-makai sabun dan kreolin.”
Muka Ratna mendjadi tenang kembali! -Itu malam ia tidur dengan roman muka jang seperti bersenjum, seperti mukanja orang jang mendapat kebahagiaan besar.
Maha-Besarlah Allah Ta’ala, maha-mulialah Nabi jang la suruh!
Buat nomor Maulud ini Redaksi “Pandji Islam” minta kepada saja supaja saja menulis satu artikel tentang: “Nabi Muhammad sebagai pembangun Masjarakat!”
Permintaan redaksi itu saja penuhi dengan segala kesenangan hati. Tetapi dengan sengadja saja memakai titel jang lain daripada jang dimintanja itu, jakni untuk memusatkan perhatian pembatja kepada pokoknja saja punja uraian nanti.
Nabi Muhammad memang salah seorang pembangun masjarakat jang maha-maha-haibat. Tetapi tiap-tiap hidung mengetahui, bahwa masja-rakat abad ketudjuh Masehi itu tidak sama dengan masjarakat abad keduapuluh jang sekarang ini. Hukum-hukum diadakan oleh Nabi Muhammad untuk membangunkan dan memeliharakan masjarakat itu, tertulislah didalam Qur’an dan Sunnah (Hadits). Hadist hurufnja Qur’an dan Hadits itu tidak berobah, sebagai djuga tiap-tiap huruf jang sudah tertulis satu kali; buat hurufnja Qur’an dan sunnah malahan “teguh selama-lamanja, tidak lapuk dihudjan, tidak lekang dipanas”. Tetapi masjarakat selalu berobah, masjarakat selalu ber-evolusi ini tidak tiap-tiap hidung mengetahui. Sajang sekali, sebab umpama-nja tiap-tiap hidung mengetahui, maka nistjaja tidaklah selalu ada konflik antara masjarakat itu dengan orang-orang jang merasa dirinja memikul kewadjiban mendjaga aturan-aturan Qur’an dan Sunnah itu, dan tidaklah masjarakat Islam sekarang ini sebagai seekor ikan jang terangkat dari air, setengah mati megap-megap!
Nabi Muhammad punja pekerdjaan jang maha-maha-haibat itu Sajang sekali bolehlah kita bahagikan mendjadi dua bahagian: bahagian sebelum hidjrah, dan bahagian sesudah hidjrah. Bahagian jang sebelum hidjrah itu adalah terutama sekali pekerdjaan membuat dan membentuk bahan nja masjarakat Islam kelak, material buat masjarakat Islam kelak: jakni orang-orang jang pertjaja kepada Allah jang satu, jang teguh imanja, jang sutji achlaknja, jang luhur budinja, jang mulia perangainja. Hampir semua ajat-ajat Qur’an jang diwahjukan di Mekkah itu adalah mengan-dung adjaran-adjaran pembentukan rohani ini: tauhid, pertjaja kepada Allah jang Esa dan Maha-Kuasa, rukun-rukunnja iman, keichlasan, keluhuran moral, keibadatan, tjinta kepada sesama manusia, tjinta ke pada simiskin, berani kepada kebenaran, takut kepada azabnja neraka, lazatnja gandjaran sjurga, dan lain-lain sebagainja jang perlu buat men-djadi kehidupan manusia umumnja, dan pandemen rohaninja perdjoangan serta masjarakat di Madinah kelak.
Sembilanpuluh dua daripada seratus empatbelas surat, hampir dua pertiga Qur’an adalah berisi ajat-ajat Mekkah itu. Orang-orang jang dididik oleh Muhammad dengan ajat-ajat ini, serta dengan sunnah dan teladannja pula, mendjadilah orang-orang jang tahan-udji, jang gilang-gemilang imannja serta achlaknja, jang seakan-akan mutiara dikala damai, tetapi seakan-akan dinamit dimasa berdjoang. Orang-orang inilah jang mendjadi material-pokok bagi Muhammad untuk menjusun Ia punja masjarakat kelak dan la punja perdjoangan kelak.
Maka datanglah kemudian periode Madinah.
Datanglah kemudian periodenja perdjoangan-perdjoangan dengan kaum Jahudi, perdjoangan dengan kaum Mekkah. Datanglah saatnja Ia menggerakkan material itu, -ditambah dengan material baru, antaranja kaum Ansar-, mendina miskan material itu kealam perdjoangan dan kemasjarakatan jang teratur. Bahan-bahan rohani jang Ia timbun-timbunkan didalam dadanja kaum Muhadjirin, kaum Ansar serta kaum-Islam baru itu, dengan satu kali perintah sahadja jang keluar dari mulutnja jang Mulia itu, mendjadilah menjala-njala berkobar-kobar menjinari seluruh dunia Arab.
“Pasir dipadang-padang-pasir Arabia jang terik dan luas itu, jang beribu-ribu tahun diam dan seakan-akan mati, pasir itu sekonjong-konjong mendjadilah ledakan mesiu jang meledak, jang kilatan ledakannja menjinari seluruh dunia”, begitulah kira-kira perkataan pudjangga Eropah Timur Thomas Carlyle tatkala ia membitjarakan Muhammad.
Ja, pasir jang mati mendjadi mesiu jang hidup, mesiu jang dapat meledak. Tetapi mesiu ini bukanlah mesiu untuk membinasakan dan menghantjurkan sahadja, tidak untuk meleburkan sahadja perlawanannja orang jang kendati diperingatkan berulang-ulang, sengadja masih mendur-haka kepada Allah dan mau membinasakan agama Allah. Mesiu ini dju-galah mesiu jang boleh dipakai untuk mengadakan, mesiu jang boleh dipakai untuk scheppend-werk, sebagai dinamit dizaman sekarang bukan sahadja boleh dipakai untuk musuh, tetapi djuga untuk membuat djalan biasa, djalan kereta-api, djalan irigasi, djalannja keselamatan dan ke-makmuran. Mesiu ini bukanlah sahadja mesiu perang tetapi djuga mesiu kesedjahteraan.
Di Madinah itulah Muhammad mulai menjusun la punja masjarakat dengan tuntunan Ilahi jang selalu menuntun kepadanja. Di Madinah itulah turunnja kebanjakannja “ajat-ajat masjarakat” jang mengisi sepertiga lagi dari kitab Qur’an. Di Madinah itu banjak sekali dari la punja sunnah bersifat “sunnah-kemasjarakatan”, jang mengasih petun-djuk ditentang urusan menjusun dan membangkitkan masjarakat. Di Madinah itu Muhammad menjusun satu kekuasaan “negara”, jang mem-buat orang djahat mendjadi takut menjerang kepadaNja, dan membuat orang baik mendjadi gemar bersatu kepadaNja. Ajat-ajat tentang zakat, sebagai sematjam padjak untuk membelandjai negara, ajat-ajat merobah qiblah dari Baitulmuqaddis ke Mekkah, ajat-ajat tentang hukum-hukum-nja perang, ajat-ajat tentang pendirian manusia terhadap kepada manusia jang lain, ajat-ajat jang demikian itulah umumnja sifat ajat-ajat Madinah itu. Di Mekkah turunlah terutama sekali ajat-ajat iman, di Madinah ajat-ajat mengamalkan itu iman. Di Mekkah diatur perhubungan manusia dengan Allah, di Madinah perhubungan manusia dengan manusia sesama-nja. Di Mekkah didjandjikan kemenangan orang jang beriman, di Madinah dibuktikan kemenangan orang jang beriman. Tetapi tidak periode dua ini terpisah sama sekali sifatnja satu dengan lain, tidak dua periode ini sama sekali tiada “penjerupaan” satu kepada jang lain. Di Mekkah adalah turun pula ajat-ajat iman. Tetapi bolehlah kita sebagai garis-umum mengatakan: Mekkah adalah persediaan masjarakat, Madinah adalah pelaksanaan masjarakat itu.
Itu semua terdjadi didalam kebutnja zaman jang purbakala. Hampir empatbelas kali seratus tahun memisahkan zaman itu dengan zaman kita sekarang ini. Ajat-ajat jang diwahjukan oleh Allah kepada Muhammad di Madinah itu sudahlah dihimpunkan oleh Sajidina Usman bersama-sama ajat-ajat jang lain mendjadi kitab jang tidak lapuk dihudjan, tidak lekang dipanas, sehingga sampai sekarang masihlah kita kenali dia preais sebagai keadaannja jang asli. Sjari’at jang termaktub didalam ajat-ajat serta sunnah-sunnah Nabi itu, sjari’at itu diterimakanlah oleh angkatan-angkatan dahulu kepada angkatan-angkatan sekarang, turun-temurun, bapak kepada anak, anak kepada anaknja lagi. Sjari’at ini mendjadilah satu kumpulan hukum, jang tidak sahadja mengatur masjarakat padang. pasir dikota Jatrib empatbelas abad jang lalu, tetapi mendjadilah satu kumpulan hukum jang musti mengatur kita punja masjarakat dizaman sekarang.
Maka konflik datanglah! Konflik antara masjarakat itu sendiri dengan pengertian manusia tentang sjari’at itu. Konflik antara masja-rakat jang selalu berganti tjorak, dengan pengertian manusia jang beku. Semakin masjarakat itu berobah, semakin besarlah konfliknja itu. Belum pernah masjarakat begitu tjepat robahnja sebagai diachir abad jang kesembilanbelas dipermulaan abad jang keduapuluh ini. Sedjak orang mendapatkan mesin-uap diabad jang lalu, maka roman-muka dunia bero-bahlah dengan ketjepatan kilat dari hari kehari. Mesin-uap diikuti oleh mesin-minjak, oleh electriciteit, oleh kapal-udara, oleh radio, oleh kapal-kapal-selam, oleh tilpun dan telegraf, oleh televisi, oleh mobil dan mesin-tulis, oleh gas ratjun dan sinar jang dapat membakar. Didalam limapuluh tahun sahadja roman-muka dunia lebih berobah daripada di-dalam limaratus tahun jang terdahulu. Didalam limapuluh tahun inipun sedjarah-dunia seakan-akan melompati djarak jang biasanja dilalui sedjarah itu didalam limaratus tahun. Masjarakat seakan-akan bersajap kilat. Tetapi pengertian tentang sjari’at seakan-akan tidak bersajap, seakan-akan tidak berkaki, – seakan-akan tinggal beku, kalau umpamanja tidak selalu dihantam bangun oleh kekuatan-kekuatan-muda jang selalu mengentrok-entrokkan dia, mengadjak dia kepada “rethinking of Islam” diwaktu jang achir-achir ini. Belum pernah dia ada konflik jang begitu besar antara masjarakat dan pengertian sjari’at, seperti dizaman jang achir-achir ini. Belum pernah Islam menghadapi krisis begitu haibat, sebagai dizaman jang achir-achir ini. “Islam pada saat ini,” -begitulah Prof. Tor Andrea menulis didalam sebuah madjalah, “Islam pada saat ini adalah sedang mendjalani “udjian-apinja” sedjarah. Kalau ia menang, ia akan mendjadi teladan bagi seluruh dunia; kalau ia kalah, ia akan me-rosot ketingkatan jang kedua buat selama-lamanja”.
Ja, dulu “zaman Madinah”, kini zaman 1940. Didalam tjiptaan kita nampaklah Nabi duduk dengan sahabat-sahabatnja didalam rumah-nja. Hawa sedang panas terik, tidak ada kipas listrik jang dapat menjegarkan udara, tidak ada es jang dapat menjedjukkan kerongkongan, Nabi tidak duduk ditempat penerimaan tamu jang biasa, tetapi bersan darlah Ia kepada sebatang puhun kurma tidak djauh dari rumahnja itu.
Wadjah mukanja jang berseri-seri itu nampak makin sedaplah karena rambutnja jang berombak-ombak dan pandjang, tersisir rapih kebelakang. sampai setinggi pundaknja. Sorot matanja jang indah itu seakan-akan “mimpi”, – seperti memandang kesatu tempat jang djauh sekali dari alam jang fana ini, melajang-lajang disatu alam-gaib jang hanja dikenali Tuhan.
Maka datanglah orang-orang tamunja, orang-orang Madinah atau luar-Madinah, jang sudah masuk Islam atau jang mau masuk Islam. Mereka semuanja sederhana, semuanja membawa sifatnja zaman jang kuno itu. Rambutnja pandjang-pandjang, ada jang sudah sopan, ada jang belum sopan. Ada jang membawa panah, ada jang mendukung anak, ada jang djalan kaki, ada jang naik onta, ada jang setengah telandjang. Mereka datanglah minta keterangan dari hal pelbagai masalah agama, atau minta petundjuk ditentang pelbagai masalah dunia sehari-hari. Ada jang mena-njakan urusan ontanja, ada jang menanjakan urusan pemburuan, ada jang mengadukan hal pentjurian kambing, ada jang minta obat, ada jang minta didamaikan perselisihannja dengan isteri dirumah. Tetapi tidak seorang-pun menanjakan boleh tidaknja menonton bioskop, boleh tidaknja mendi-rikan bank, boleh tidaknja nikah dengan perantaraan radio, tidak seorang-pun membitjarakan hal mobil atau bensin atau obligasi bank atau telegraf atau kapal-udara atau gadis mendjadi dokter.
Nabi mendengarkan segala pertanjaan dan pengaduan itu dengan tenang dan sabar, dan mengasihlah kepada masing-masing penanja djawabnja dengan kata-kata jang menudju terus kedalam roch-semangat-nja semua jang hadir. Disinilah sjari’atul Islam tentang masjarakat lahir kedunia, disinilah buaian wet kemasjarakatan Islam jang nanti akan dibawa oleh zaman turun-temurun, melintasi batasnja waktu dan batasnja negeri dan samudra. Disinilah Muhammad bertindak sebagai pembuat wet, bertindak sebagai wetgever, dengan pimpinannja Tuhan, jang kadang-kadang langsung mengasih pimpinannja itu dengan ilham dan wahju. Wet ini harus tjotjok dan mengasih kepuasan kepada masjarakat diwaktu itu, dan tjukup “karet”, – tjukup elastis, tjukup supel, – agar dapat tetap dipakai sebagai wet buat zaman-zaman dikelak kemudian hari. Sebab Nabi, didalam maha-kebidjaksanaannja itu insjaflah, bahwa la sebenarnja tidak mengasih djawaban kepada si Umar atau si Zainab jang duduk dihadapannja dibawah puhun kurma pada saat itu sahadja, -la insjaf. bahwa Ia sebenarnja mengasih djawaban kepada Seluruh Peri Kemanusiaan.
Dan seluruh peri kemanusiaan, bukan sahadja dari zamanNja Nabi sendiri, tetapi djuga seluruh peri kemanusiaan dari abad-abad jang ke-mudian, abad kesepuluh, abad keduapuluh, ketigapuluh, keempatpuluh, kelimapuluh dan abad-abad jang masih kemudian-kemudian lagi jang masjarakatnja sifatnja lain, susunannja lain, kebutuhannja lain, hukum perkembangannja lain.
Maka didalam maha-kebidjaksanaan Nabi itu, pada saat la mengasih djawaban kepada si Umar dan si Zainab dibawah puhun kurma hampir seribu empat ratus tahun jang lalu itu, Ia adalah djuga mengasih djawaban kepada kita. Kita, jang hidup ditahun 1940! Kita, jang hadjat kepada radio dan listrik, kepada sistim politik jang modern dan hukum-hukum ekonomi jang modern, kepada kapal-udara dan telegraf, kepada bioskop dan universitas! Kita, jang alat-alat penjenangkan hidup kita berlipat-lipat ganda melebihi djumlah dan kwaliteitnja alat-alat hidup si Umar dan si Zainab dari bawah puhun kurma tahadi itu, jang masalah-masalah hidup kita berlipat-lipat ganda lebih sulit, lebih berbelit-belit, daripada si Umar dan si Zainab itu. Kita jang segala-galanja lain dari si Umar dan si Zainab itu.
Ja, djuga kepada kita! Maka oleh karena itulah segala utjapan-utjapan Muhammad tentang hukum-hukum masjarakat itu bersifat sjarat-sjarat minimum, jakni tuntutan-tuntutan “paling sedikitnja”, dân bukan tuntutan-tuntutan jang “musti presis begitu”, bukan tuntutan-tuntutan jang mutlak. Maka oleh karena itulah Muhammad bersabda pula, bahwa ditentang urusan dunia “kamulah lebih mengetahui”. Halide Edib Hanum kira-kira limabelas tahun jang lalu pernah menulis satu artikel didalam surat-surat-bulanan “Asia”. Jang antaranja ada berisi kalimat: “Didalam urusan ibadat, maka Muhammad adalah amat keras sekali. Tetapi didalam urusan jang lain, didalam la punja sistim masja-rakat, la, sebagai seorang wetgever jang djauh penglihatan, adalah menga-sih hukum-hukum jang sebenarnja “liberal”. Jang membuat hukum-hukum masjarakat itu mendjadi sempit dan menjekek nafas ialah con-sensus idjma’ ulama.”
Renungkanlah perkataan Halide Edib Hanum ini. Hakekatnja tidak berbedaan dengan perkataan Sajid Amir Ali tentang “kekaretan” wet-wet Islam itu, tidak berbedaan dengan pendapatnja ahli-tarich-ahli-tarich jang kesohor pula, bahwa jang membuat agama mendjadi satu kekuasaan reaksioner jang menghambat kemadjuan masjarakat manusia itu, bukan-lah pembikin agama itu, bukanlah jang mendirikan agama itu, tetapi ialah idjma’nja ulama-ulama jang terkurung didalam tradisi-pikiran idjma’-idjma’ jang sediakala.
Maka djikalau kita, didalam abad keduapuluh ini, tidak bisa mengunjah dengan kita punja akal apa jang dikatakan kita punja oleh Nabi kepada si Umar dan si Zainab dibawah puhun kurma hampir seribu empat ratus tahun, djikalau kita tidak bisa mentjernakan dengan akal apa jang disabdakan kepada si Umar dan si Zainab itu diatas basisnja perbandingan-perbandingan abad keduapuluh dan kebutuhan-kebutuhan abad keduapuluh, maka djanganlah kita ada harapan menguasai dunia, seperti jang telah difirmankan oleh Allah Ta’ala sendiri didalam surat-surat ajat 29. Djanganlah kita ada pengiraan, bahwa kita me-warisi pusaka Muhammad, sebab jang sebenarnja kita warisi hanjalah pusaka ulama-ulama faqih jang sediakala sahadja. Didalam penutup saja punja artikel tentang “Memudakan Pengertian Islam” saja sudah peringatkan pembatja, bahwa segala hal itu boleh asal tidak njata dilarang.
Ambillah kesempatan tentang bolehnja segala hal ini jang tak ter-larang itu, agar supaja kita bisa setjepat-tjepatnja mengedjar zaman jang telah djauh meninggalkan kita itu. Dari tempat-tempat-interníran saja jang terdahulu, dulu pernah saja serukan via tuan A. Hassan dari Per-satuan Islam, didalam risalah ketjil “Surat-surat Islam dari Endeh”:
“Kita tidak ingat, bahwa masjarakat itu adalah barang jang tidak diam, tidak tetap, tidak “mati”, tetapi hidup mengalir, berobah senan-tiasa, madju, dinamis, ber-evolusi.
Kita tidak ingat, bahwa Nabi s.a.w. sendiri telah mendjadikan urusan dunia, menjerahkan kepada kita sendiri perihal urusan dunia, membenarkan segala urusan dunia jang baik dan tidak njata haram atau makruh. Kita rojal sekali dengan perkataan “kafir”, kita gemar sekali mentjap segala barang jang baru dengan tjap “kafir” Pengetahuan Barat-kafir; radio dan kedokteran-kafir; sendok dan garpu dan kursi-kafir; tulisan Latin-kafir; jang bergaulan dengan bangsa jang bukan bangsa Islam-pun-kafir! Padahal apa, — apa jang kita namakan Islam? Bukan Roch Islam jang berkobar-kobar, bukan Amal Islam jang mengagumkan, tetapi dupa dan kurma dan djubah dan tjelak mata! Siapa jang mukanja angker, siapa jang tangan-nja bau kemenjan, siapa jang matanja ditjelak dan djubahnja pandjang dan menggenggam tasbih jang selalu berputar, dia, dialah jang kita namakan Islam. Astagafirullah, inikah Islam? Inikah agama Allah? Ini? Jang mengkafirkan pengetahuan dan ketjerdasan, mengkafirkan radio dan listrik, mengkafirkan kemoderenan dan ke-uptodate-an? Jang mau tinggal mesum sahadja, tinggal kuno sahadja, tinggal terbelakang sahadja, tinggal “naik onta” dan “makan zonder sendok” sahadja, seperti dizaman Nabi-nabi.
Islam is progress, -Islam itu kemadjuan, begitulah telah saja tuliskan didalam salah satu surat saja jang terdahulu. Kemadjuan karena fardhu, kemadjuan karena sunnah, tetapi djuga kemadjuan karena diluaskan dan dilapangkan oleh djaiz atau mubah jang lebarnja melampaui batasnja-zaman. Progress berarti barang baru, jang lebih tinggi tingkatnja daripada barang jang terdahulu. Progress berarti pembikinan baru, tjiptaan baru, creation baru, -bukan mengulangi barang jang dulu, bukan mengcopy barang jang lama. Didalam politik Islam-pun orang tidak boleh mengcopy sahadja barang-barang jang lama, tidak boleh mau mengulangi sahadja segala sistim-sistimnja zaman “chalifah-chalifah jang besar”. Kenapa orang-orang Islam disini selamanja mengandjurkan political system “seperti dizamannja chalifah-chalifah besar” Itu? Tidakkah didalam langkahnja zaman jang lebih dari seribu tahun itu peri kemanusiaan mendapatkan sistim-sistim baru jang lebih sempurna, lebih bidjaksana. lebih tinggi tingkatnja daripada dulu? Tidakkah zaman sendiri mendjel makan sistim-sistim baru jang tjotjok dengan keperluannja, tjotjok dengan keperluan zaman itu sendiri? Apinja zaman “chalifah-chalifah jang besar itu? Ach, lupakah kita, bahwa api ini bukan mereka jang menemukan, bukan mereka jang “menganggitkan”? Bahwa mereka “menjutat” sahadja api itu dari barang jang djuga kita dizaman sekarang mempunjainja, jakni dari Kalam Allah dan Sunnahnja Rasul?
Tetapi apa jang kita “tjutat” dari Kalam Allah dan Sunnah Rasul itu? Bukan apinja, bukan njalanja, bukan! Abunja, debunja, ach ja, asapnja! Abunja jang berupa tjelak mata dan sorban, abunja jang menjintai ke-menjan dan tunggangan onta, abunja jang bersifat Islam-muluk dan Islam Thadat-zonder-taqwa, abunja jang tjuma tahu batja Fatihah dan tahlil sahadja, tetapi bukan apinja, jang menjala-njala dari udjung zaman jang satu keudjung zaman jang lain.”
Begitulah saja punja seruan dari Endeh. Marilah kita tjamkan di dalam kita punja akal dan perasaan, bahwa kini bukan masjarakat onta, tetapi masjarakat kapal-udara. Hanja dengan begitulah kita dapat me-nangkap inti arti jang sebenarnja dari waris Nabi jang mauludnja kita rajakan ini hari. Hanja dengan begitulah kita dapat menghormati Dia didalam artinja penghormatan jang hormat sehormat-hormatnja. Hanja dengan begitulah kita dengan sebenar-benarnja boleh menamakan diri kita ummat Muhammad, dan bukan ummat kaum faqih atau ummat kaum ulama.
Pada suatu hari saja punja andjing mendjilat air didalam pantji di-dekat sumur. Saja punja anak Ratna Djuami berteriak: “Papie, papie, si Ketuk mendjilat air didalam pantji!” Saja mendjawab: “Buanglah air itu, dan tjutjilah pantji itu beberapa kali bersih-bersih dengan sabun dan kreolin.”
Ratna termenung sebentar. Kemudian ia menanja: “Tidakkah Nabi bersabda, bahwa pantji ini musti ditjutji tudjuh kali, diantaranja satu kali dengan tanah?”
Saja mendjawab: “Ratna, dizaman Nabi belum ada sabun dan kreolin! Nabi waktu itu tidak bisa memerintahkan orang memakai sabun dan kreolin.” Muka Ratna mendjadi terang kembali.
Itu malam ia tidur dengan roman muka jang seperti bersenjum, seperti mukanja orang jang mendapat kebahagiaan besar.
Maha-Besarlah Allah Ta’ala, maha-mulialah Nabi jang la suruh!
“Pandji Islam”, 1940
Red; tulisan ini sengaja penulis buat sama dengan tulisan ejaan lama yang ada pada buku “Fikiran Ra’jat” hal: 483-490
Discussion about this post