Fiikiran Ra’jat, Gorontalo Utarra – Di ujung utara Pulau Sulawesi, tepatnya di Desa Malambe, Kecamatan Ponelo Kepulauan, suara-suara kecewa rakyat kecil menggema lantang. Mereka menyindir keras para anggota legislatif daerah (Aleg) Dapil Ponelo–Tomilito yang dinilai kerap datang hanya untuk berfoto, bukan untuk menyelesaikan masalah yang sudah bertahun-tahun mereka tanggung: jalan rusak parah yang memutus akses hidup mereka.
“Kami bukan patung untuk difoto. Kami manusia yang butuh kehadiran nyata, bukan pencitraan. Sudah terlalu banyak janji, terlalu lama kami menunggu,” kata Utun Tolinggi, tokoh masyarakat Malambe.
Desa yang Terisolasi di Negeri Sendiri
Jalan utama yang seharusnya menjadi urat nadi penggerak ekonomi dan pelayanan publik di Ponelo Kepulauan berubah menjadi jebakan lumpur saat hujan tiba. Anak-anak harus berjalan kaki berkilo-kilometer melewati becek dan licin untuk sekolah. Warga yang sakit terpaksa menahan nyeri berjam-jam demi mencapai pusat kesehatan terdekat. Tak sedikit yang akhirnya menyerah sebelum sempat mendapatkan pertolongan.
“Kami tidak minta jalan tol, kami hanya ingin jalan desa yang bisa dilalui motor tanpa takut terjatuh,” keluh Sabuati Buheli, tokoh masyarakat yang prihatin karena warga harus mengandalkan tenaga sendiri untuk mengakses kebutuhan dasar sehari-hari. Infrastruktur jalan yang layak menjadi harapan utama masyarakat.
Panggung Politik yang Hampa Aksi
Kunjungan para wakil rakyat sering kali datang dengan iringan kamera dan janji manis. Namun setelah foto tersebar, mereka pun lenyap dari pandangan, meninggalkan warga dalam kubangan yang sama—baik lumpur maupun janji kosong.
“Setiap lima tahun kami dipanggil untuk memilih. Tapi setelah itu, siapa yang memanggil kami untuk mendengar jeritan kami?” tanya Masno, wartawan nasional yang juga putra daerah Malambe, yang gencar menyoroti isu ini melalui jaringan media nasional.
Suara dari Pinggiran yang Tak Boleh Diabaikan
Masno menggarisbawahi bahwa apa yang terjadi di Ponelo Kepulauan bukan sekadar masalah infrastruktur. Ini adalah potret kecil dari ketimpangan pembangunan di negeri yang kaya namun belum adil.
“Negara tidak boleh membiarkan wilayah-wilayah terluar seperti Malambe merasa sendirian. Jika pembangunan hanya terpusat di kota, maka Indonesia tidak pernah benar-benar utuh,” tegasnya.
Lewat liputan dan laporan ini, warga menyampaikan pesan tegas:
Melalui media ini, kami menyuarakan kebutuhan kami, wahai pimpinan dewan dan Pemda serta dinas terkait. Lihatlah kami bukan sebagai angka pemilu, tapi sebagai manusia yang berhak atas jalan yang layak, atas pelayanan dasar, dan atas kehidupan yang bermartabat. Jangan datang hanya saat kamera menyala. Datanglah dengan hati dan solusi.”(M)
Discussion about this post