Jakarta, 1 September 2025 – Nama Salsa Erwina Hutagalung, seorang diaspora Indonesia, tengah menjadi sorotan di media sosial. Kritiknya yang tajam terhadap berbagai isu sosial di Indonesia telah memicu perdebatan sengit di kalangan warganet.
Melalui tulisan yang diunggah di akun media sosialnya, Salsa tanpa ragu mengkritik berbagai fenomena yang dianggapnya menyimpang dari nilai-nilai luhur bangsa. Mulai dari gaya hidup hedonistik anak muda, praktik korupsi yang melibatkan pejabat publik, hingga standar ganda dalam penegakan hukum, semuanya tak luput dari perhatiannya.
Salah satu poin yang paling disoroti adalah kritiknya terhadap fenomena keagamaan yang dianggapnya sekadar formalitas dan tidak menyentuh esensi spiritual. “Kita mengaku sebagai negara yang sangat religius, tetapi siapa sebenarnya yang kita sembah? Tuhan, iman, kebenaran, atau justru gengsi, tren pasar, dan kekayaan?” sebut Salsa dalam salah satu unggahannya.
Tak hanya itu, Salsa juga menyoroti ketimpangan sosial yang semakin lebar di Indonesia. Ia mempertanyakan mengapa kekayaan sering kali dijadikan simbol kehormatan, sementara kejujuran dan integritas semakin terpinggirkan.
Kritik pedas Salsa ini tentu saja memicu beragam reaksi dari warganet. Sebagian mendukung dan menganggapnya sebagai suara kejujuran yang selama ini terpendam. Namun, tak sedikit pula yang mencibir dan menuduhnya sebagai provokator yang ingin merusak citra Indonesia di mata dunia.
Terlepas dari pro dan kontra yang ada, satu hal yang pasti: opini Salsa Erwina telah membuka ruang diskusi yang penting tentang arah dan tujuan bangsa Indonesia ke depan. Apakah kita akan terus terjebak dalam formalitas dan materialisme, atau berani berbenah diri dan kembali kepada nilai-nilai luhur yang sejati?
Menurut penulis, ada dua hal yang dikritik oleh Salsa Erwina yang sangat menonjol karena dianggap dapat menghalangi bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi dan mulia, yaitu formalitas dan materialisme.
Orang yang materialistis biasanya cenderung lebih fokus pada mengumpulkan kekayaan dan memenuhi kebutuhan duniawi daripada mengembangkan diri secara spiritual atau berkontribusi pada masyarakat.
Contohnya, orang beribadah hanya karena ikut-ikutan atau karena takut dinilai buruk oleh masyarakat, bukan karena kesadaran diri dan cinta kepada Tuhannya. Praktik keagamaan atau kegiatan lain yang hanya dilakukan sebagai formalitas saja—ketidak sungguhan ini—lah yang menyebabkan kemunduran. Apakah kita akan terus terjebak dalam hal ini tanpa ada keinginan untuk melakukan pembenahan yang sesungguhnya, seperti apa yang menjadi cita-cita para pendiri bangsa terdahulu sesuai nilai-nilai luhur yang sejati?
Penulis: Tholib
Redaksi: fikiranrakyat.id
Discussion about this post